Pada
dasarnya manusia adalah makhluk yang termulia, sekaligus sebagai
makhluk yang berkemungkinan. Manusia sangat mungkin mampu mencapai
derajat tertinggi, bahkan melebihi derajat malaikat, namun ia juga
mungkin bisa terjatuh ke tingkat yang paling rendah dan hina melebihi
binatang. Kondisi tersebut bersumber pada dua hal yang melekat pada diri
manusia yaitu hati nurani dengan arahan hidayatul fitrah dan hawa nafsu
dibawah bimbingan syaithaniyah.
Ketika manusia terus melaju dengan hati
nurani yang selalu disertai hidayatul
fitrahnya, maka ia akan mampu mencapai puncak tertinggi melebihi makhluk-makhluk yang lainnya. Akan tetapi ketika manusia terus terseret nafsu syaithaniyahnya, maka ia akan terjatuh pada tingkat yang terhina melebihi binatang.
fitrahnya, maka ia akan mampu mencapai puncak tertinggi melebihi makhluk-makhluk yang lainnya. Akan tetapi ketika manusia terus terseret nafsu syaithaniyahnya, maka ia akan terjatuh pada tingkat yang terhina melebihi binatang.
Allah SWT membekali manusia dengan dua
hal itu (hati nurani dan hawa nafsu) yang selamanya tidak akan dapat
bertemu dalam kebersamaan menuju kebaikan. Hati nurani selalu mengajak
manusia kepada nilai-nilai kebaikan, sedangkan hawa nafsu selalu
mempengaruhi manusia kepada kejahatan. Dua ciptaan itu dijadikan fitrah
bagi manusia sebagai ujian, akan kemana manusia menentukan arah
kehidupan yang menjadi tujuannya.
Islam sebagai agama yang diridloi Allah
SWT telah menetapkan hukum-hukum bagi kehidupan manusia dalam
mengokohkan eksistensi kemuliaannya. Jika manusia mematuhi hukum-hukum
yang telah digariskan oleh agama pasti akan membawa kebaikan dan
kemaslahatan bagi manusia itu sendiri. Sesungguhnya manusia sebagai
subyek juga diberikan perangkat akal untuk berfikir dan mempertimbangkan
segala sesuatu yang dilakukannya dalam menentukan baik ataukah buruk.
Sebagai manusia yang berakal sehat tentu
dapat membedakan antara kebaikan dan keburukan, antara pahala dan dosa.
Secara fitrah sesungguhnya manusia memiliki kecenderungan pada kebaikan
dan ingin menjauhi keburukan. Akan tetapi realitas kehidupan manusia
acap kali berbeda dengan idealisme yang semestinya. Betapapun manusia
menyadari bahwa keburukan akan mendatangkan akibat buruk bagi pelakunya,
tetapi ia tak mau menghindar dari ajakan nafsu syetan yang akan
menjerumuskan kepada lembah kehinaan.
Sebagai manusia yang dibekali dengan akal
dan dipandu dengan petunjuk ilahi melalui kitab suci, maka sesungguhnya
ia harus menyadari serta dapat mengendalikan diri dan tidak mengikuti
hawa nafsunya untuk berbuat salah dan dosa. Hal itu berkaitan dengan
firman Allah SWT :
(ولا تتبع الهوى فيضلك عن سبيل الله ان الذين يضلون عن سبيل الله لهم عذاب شديدبما نسوا يوم الحساب (ص : 26
Artinya : “… dan janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu karena ia (hawa nafsu) akan menyesatkan kamu dari jalan
Allah SWT. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah SWT akan
mendapat adzab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”
(QS. Shaad : 26)
Jika kita perhatikan realitas kehidupan
dewasa ini, banyak sekali sudut kehidupan manusia yang telah dikuasai
oleh hawa nafsu. Kasus-kasus kejahatan, kekerasan, tindak asusila,
penjungkiran nilai, pemaksaan hak, kesewenang-wenangan, korupsi,
terorisme dan lain sebagainya hampir merupakan sajian rutin setiap hari
pada media massa. Semua itu terjadi karena ketidak mampuan manusia dalam
membentengi, memerangi dan mengendalikan hawa nafsunya.
Oleh sebab itu memerangi dan
mengendalikan hawa nafsu dalam pandangan islam sebagai perjuangan yang
sangat besar (jihad akbar). Sebagaimana telah dinyatakan oleh Rasulullah
SAW pasca kemenangan dalam peperangan, yaitu :
رجعتم من الجهاد الأصغر الى الجهاد الأكبر فقيل وما جهاد الأكبر يا رسول الله؟ فقال : جهاد النفس
Artinya : “kalian semua pulanglah
(kembalilah) dari sebuah pertempuran kecil menuju sebuah pertempuran
besar. Lalu ditanyakan kepada Rasulullah SAW. Apakah pertempuran besar
itu wahai Rasulullah?. Beliau menjawab, jihad melawan (memerangi) hawa
nafsu.”
Didalam kitab Burdah Imam Bushiri menyatakan :
وخالف النفس والشيطان واعصهما وان هما محضاك النصح فاتهم
Artinya : “janganlah anda mengikuti nafsu
dan syetan serta kemaksiatan yang ditawarkannya. Dan tetap waspadalah,
sekalipun keduanya membisikan nasehat (kesan baik).”
Memperhatikan keterangan diatas, maka
dalam melawan hawa nafsu membutuhkan kesiapan dan kemauan yang
sungguh-sungguh. Sebab hawa nafsu itu sudah menyatu dan melekat pada
diri manusia, bahkan selalu tahu kapan manusia dalam keadaan lengah dan
lepas kontrol. Sekali saja manusia dikuasai oleh hawa nafsunya, maka
hawa nafsu itu akan terus mendesak untuk selalu menguasai, memperdaya
dan mempermainkan kondisi fisik maupun psikis manusia itu sendiri
sehingga menjadi kehilangan jati diri sebagai manusia yang bermartabat.
Dalam kondisi mayoritas manusia telah
dikuasai oleh hawa nafsunya, maka orang yang memiliki komitmen terhadap
moral dan nilai-nilai agama, kian makin tersingkir oleh opini umum
sebagai simbol ketertinggalan. Sehingga kian tidak mendapatkan tempat
yang signifikan dalam percaturan keduniaan. Dalam kondisi seperti itu,
maka umat islam yang beriman harus tetap konsisten dengan komitmen
keimanannya, jangan sampai mengikuti arus kebanyakan orang yang telah
dikuasai oleh hawa nafsunya.
والله أعلم بالصواب