Oleh: Harits Abu Ulya
Pemerhati Kontra-Terorisme & Direktur CIIA
Pemerhati Kontra-Terorisme & Direktur CIIA
"Seribu kali kebohongan maka hasilnya adalah kebenaran",
pepatah ini tepat untuk menjelaskan upaya-upaya sebagian orang untuk
mendaur ulang pengertian jihad. Jihad selalu didekatkan dengan tindakan
terorisme, jihad sama dengan tindakan kekerasan, jihad identik dengan
usaha merusak tanpa pandang bulu. Ada juga jihad dengan arti usaha
keseharian mencari nafkah dengan sungguh-sungguh juga termasuk jihad,
jihad melawan korupsi, jihad dalam menuntut ilmu, bekerja keras,
disiplin, mengekang hawa nafsu dan makna-makna lain yang menyimpang dari
makna hakikinya (syara').
Pengertian ini mengalir deras dari mulut-mulut orang kufar atau dari
kalangan muslim yang kurang paham tentang hakikat jihad. Atau keluar
dari ulama-ulama bayaran dan kaum munafikin yang hendak merusak
ajaran-ajaran Islam. Cuma karena sokongan media yang pro mereka maka
'kebohongan' dalam memberi arti jihad telah merubah 'arti bohong'
menjadi benar dan akhirnya sebagian umat (awam) yang masih butuh
bimbingan ini termakan dan menelan mentah-mentah.
Makna 'Jihad' yang benar;
Seperti diterangkan dalam al Qur'an dan as Sunnah kemudian dibukukan
dalam ratusan kitab fiqh oleh ulama' salafus sholeh dan ulama'-ulama'
zaman sekarang (dan mu'tabar; jadi rujukan dan pegangan umat Islam),
bisa diringkas;
Secara bahasa kata "al-jihaad" berasal dari kata "jaahada", yang bermakna "al-juhd" (kesulitan) atau "al-jahd" (tenaga atau kemampuan).Imam Ibnu Mandzur dalam Kitab Lisaan al-'Arab nya, secara bahasa, al-jihaad artinya;mengerahkan kemampuan dan tenaga yang ada, baik berupa perkataan maupun perbuatan.
Dalam kitab Syarh al-Qasthalaani 'alaa Shahiih al-Bukhaariy dinyatakan sebagai berikut Kata jihaad merupakan
pecahan dari kata al-jahd, dengan huruf jim difathah yang berarti:
at-ta'b (lelah) dan al-masyaqqah (sulit). Sebab, kelelahan dan
kesulitan yang ada di dalamnya bersifat terus-menerus. Kata jihaad bisa
merupakan bentuk pecahan dari kata al-juhd dengan "jim" didhammah, yang
berarti: at-thaaqah (kemampuan atau tenaga). Sebab, masing-masing
mengerahkan tenaganya untuk melindungi shahabatnya.
Di dalam al-Quran dan Sunnah, kata jihaad diberi arti baru oleh syariat dari arti asal (bahasanya) atau menuju makna yang lebih khusus, yaitu, "mengerahkan
seluruh kemampuan untuk berperang di jalan Allah, baik secara langsung,
dengan bantuan keuangan, pendapat (pemikiran), memperbanyak kuantitas
(taktsiir al-sawaad) ataupun yang lain (Ibn 'Abidiin, Haasyiyah, juz
III, hal. 336) Dengan demikian, ketika kata "jihad" disebut, secara
otomatis orang akan memaknainya dengan makna syariatnya –berperang di
jalan Allah", bukan dengan makna bahasanya. Jihad dengan makna khusus
ini, bisa ditemukan pada ayat-ayat Madaniyah. Sedangkan kata jihad di
dalam ayat-ayat Makkiyah, maknanya merujuk pada makna bahasanya
(bersungguh-sungguh).
Contoh Ayat-ayat yang memberikan pengertian Jihad adalah al Qital (perang):
"Tidaklah sama antara mu'min yang duduk (yang tidak turut
berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di
jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan
orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang
duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan
pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad
atas orang yang duduk dengan pahala yang besar." (QS. al-Nisaa' : 95)
Jihaad dalam ayat ini mempunyai pengertian: keluar untuk
berperang, dan aktivitas ini lebih diutamakan daripada berdiam diri dan
tidak berangkat menuju peperangan.
Para ulama empat madzhab juga telah sepakat bahwa jihad harus
dimaknai sesuai dengan hakekat syariatnya, yakni berperang di jalan
Allah baik secara langsung maupun tidak langsung.
Madzhab as-Syaafi'i, sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab al-Iqnaa', mendefinisikan jihad dengan "berperang di jalan Allah". Al-Siraazi juga menegaskan dalam kitab al-Muhadzdzab; sesungguhnya jihad itu adalah perang.
Dalam masalah ini, Ibnu Qudamah dalam al Mughni-nya berkata: Ribaath (menjaga perbatasan) merupakan pangkal dan cabang jihad. Beliau juga mengatakan: Jika
musuh datang, maka jihad menjadi fardlu 'ain bagi mereka… jika hal ini
memang benar-benar telah ditetapkan, maka mereka tidak boleh
meninggalkan (wilayah mereka) kecuali atas seizin pemimpin (mereka).
Sebab, urusan peperangan telah diserahkan kepadanya.